Selaras dengan pesanan Pope Francis berkenaan dengan Hari Komunikasi
Sedunia, Keuskupan Agung Kota Kinabalu juga ingin merayakan perayaan yang
julung-julung kali diadakan ini, serentak di seluruh dunia pada
17 Mei 2015.
Berikut adalah text penuh pesanan Pope Francis :-
Mengkomunikasikan Keluarga:
Tempat Istimewa Perjumpaan Karunia Kasih
BY RD. KAMILUS PANTUS ON APRIL 11, 2015KWI, ORBI
Pesan Paus Fransiskus
Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-49
KELUARGA adalah sebuah pokok refleksi
mendalam Gereja dan sebuah proses yang melibatkan dua Sinode: Sinode luar biasa
baru-baru ini dan Sinode biasa yang dijadwalkan pada Oktober mendatang. Maka,
hemat saya, tepatlah bila tema untuk Hari Komunikasi Sedunia yang ke-49
semestinya menjadikan keluarga sebagai titik acuannya.
Bagaimanapun
juga, dalam konteks keluarga itulah kita pertama-tama belajar bagaimana
berkomunikasi. Memusatkan perhatian pada konteks ini dapat membantu
menjadikan komunikasi kita lebih autentik dan manusiawi, seraya pada saat yang
sama membantu kita melihat keluarga dalam perspektif baru.
Kita
dapat menimba ilham dari perikop Injil yang mengisahkan kunjungan Maria kepada
Elisabet (Luk 1:39-56). ”Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria,
melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh
Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: ‘Diberkatilah engkau di antara semua
perempuan dan diberkatilah buah rahimmu’” (ay. 41-42).
Kisah
perikop itu sekali lagi memperlihatkan bagaimana komunikasi itu pada dasarnya
juga melibatkan bahasa tubuh. Respon Elisabet atas salam Maria pertama-tama
diekspresikan oleh bayi di dalam kandungannya yang melonjak kegirangan.
Merasakan sukacita karena berjumpa sesama –suatu pengalaman personal yang kita
alami, bahkan sebelum lahir pun- dalam arti tertentu merupakan wujud asali dan
simbol dari semua bentuk komunikasi.
Rahim
adalah “sekolah” komunikasi yang pertama, tempat mendengarkan dan kontak fisik
di mana kita mulai mengakrabkan diri dengan dunia luar dalam sebuah lingkungan
yang terlindung, dengan suara yang menenteramkan dari detak jantung sang
ibu. Pertemuan di antara dua orang, yang saling terkait begitu erat namun
tetap berbeda satu sama lain, sebuah pertemuan yang sarat janji, adalah
pengalaman komunikasi kita yang pertama. Ini adalah pengalaman yang kita
semua miliki, karena masing-masing kita terlahir dari seorang ibu.
Bahkan
setelah kita terlahir ke dunia, dalam arti tertentu kita masih tetap berada
dalam sebuah “rahim”, yakni keluarga. Sebuah rahim terdiri dari
berbagai orang yang saling terkait: keluarga adalah tempat “di mana kita,
meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain” (Evangelii
Gaudium, 66). Betapapun ada perbedaan jenis kelamin dan usia di antara
mereka, namun para anggota keluarga menerima satu sama lain karena ada ikatan
di antara mereka. Semakin lebar cakupan relasi ini dan semakin besar
perbedaan usia, maka akan semakin kaya lingkungan hidup kita. Ikatan
inilah yang merupakan akar bahasa, yang pada gilirannya memperkuat
ikatan tersebut. Kita tidak menciptakan bahasa kita; kita dapat
menggunakan bahasa karena kita telah mewarisinya. Di dalam keluarga inilah kita
belajar menuturkan “bahasa ibu”, yaitu bahasa dari mereka
yang telah mendahului kita. (Bdk. 2 Makabe 7:25, 27). Di dalam
keluarga kita menyadari bahwa ada orang-orang lain yang telah mendahului kita,
mereka memungkinkan kita untuk berada dan pada gilirannya kita mesti
menghasilkan kehidupan dan melakukan sesuatu yang baik lagi indah. Kita
mampu memberi karena kita telah menerima. Lingkaran luhur ini merupakan
intipati kemampuan keluarga untuk berkomunikasi di antara para anggotanya dan
dengan orang-orang lain. Secara umum, lingkaran tersebut adalah model
untuk semua komunikasi.
Pengalaman
tentang relasi yang “mendahului” kita memungkinkan keluarga untuk menjadi latar
di mana bentuk komunikasi yang paling dasar, yaitu doa,
diwariskan. Ketika para orangtua menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir,
mereka sering kali mempercayakan anak-anak itu kepada Tuhan, seraya memohon
agar Ia menjaga mereka. Ketika anak-anak itu bertambah usia, para orangtua
membantu mereka untuk mendaraskan beberapa doa sederhana, seraya mengenang
kasih sayang orang-orang lain, seperti kakek-nenek, para kerabat, orang-orang
sakit dan menderita, dan semua orang yang membutuhkan pertolongan
Tuhan. Di dalam keluarga itulah sebagian besar kita mempelajari dimensi
rohani komunikasi, yang di dalam Kekristenan diresapi dengan kasih,
yaitu kasih yang Allah anugerahkan kepada kita dan yang kemudian kita bagikan
kepada orang-orang lain.
Di
dalam keluarga itulah kita belajar bagaimana masing-masing bisa saling berbagi
dan mendukung, belajar mampu mengartikan secara tepat ekspresi wajah orang dan
membaca isi hatinya sekalipun diam tak berkata-kata; kita tertawa dan menangis
bersama pribadi-pribadi yang tidak saling memilih tetapi begitu berarti satu
sama lain. Realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna
komunikasi sebagai kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan
mempertautkan.
Manakala
kita mengurangi jarak dengan bertumbuh lebih dekat dan saling menerima, maka
kita mengalami rasa syukur dan sukacita. Salam Maria dan lonjakan sukacita
anaknya merupakan sebuah berkat bagi Elisabet; disusul madah indah Magnificat,
di mana Maria memuji rencana kasih Allah bagi dirinya dan bagi
kaumnya. Sebuah “ya” yang diujarkan dengan iman dapat memiliki dampak yang
melampaui diri kita dan tempat kita di dunia ini.
”Mengunjungi”
berarti membuka pintu, tidak tinggal tertutup di dunia kecil kita, melainkan
pergi mendatangi orang-orang lain. Demikian pula keluarga menjadi hidup
lantaran ia melampaui dirinya. Keluarga-keluarga yang melakukan hal demikian
mengkomunikasikan pesan mereka tentang hidup dan persekutuan, seraya memberikan
penghiburan dan pengharapan kepada keluarga-keluarga yang lebih rapuh, dan
dengan demikian membangun Gereja itu sendiri, yang merupakan keluarga semua
keluarga.
Lebih
daripada apa pun juga, keluarga adalah tempat di mana kita setiap hari
mengalami aneka keterbatasan kita sendiri dan keterbatasan
orang-orang lain, pelbagai masalah besar dan kecil yang termaktub dalam
kehidupan yang damai dengan orang-orang lain. Sebuah keluarga yang
sempurna tidak ada. Kita tidak perlu takut akan cacat cela, kelemahan atau
bahkan konflik, tetapi sebaliknya belajar untuk mengatasi semuanya secara
konstruktif. Keluarga, di mana kita tetap mengasihi satu sama lain
meskipun ada serba keterbatasan dan dosa-dosa kita, karenanya merupakan sebuah sekolah
pengampunan. Pengampunan itu sendiri merupakan sebuah proses
komunikasi. Ketika penyesalan diungkapkan dan diterima, maka ada
kemungkinan untuk memulihkan dan membangun kembali komunikasi yang
putus. Seorang anak yang belajar dalam keluarga bagaimana mendengarkan
orang lain, bagaimana berbicara dengan hormat dan mengungkapkan pandangannya
tanpa menafikan orang lain, akan menjadi sebuah kekuatan bagi dialog dan
rekonsiliasi di tengah masyarakat.
Ketika
bersinggungan dengan tantangan dalam berkomunikasi, maka keluarga-keluarga yang
memiliki anak-anak dengan keterbatasan fisik maupun mental mengajarkan banyak
hal kepada kita. Keterbatasan gerak (motorik), perasaan (sensorik) atau
mental dapat menjadi alasan untuk kemudian menutup diri, namun sebaliknya
–berkat kasih orangtua, saudara kandung dan teman—juga bisa menjadi pendorong
untuk terbuka, kemauan berbagi dan kesiapan menjalin komunikasi dengan
siapa saja. Hal ini juga bisa membantu sekolah, paroki, dan kelompok-kelompok
orang untuk semakin terbuka dan inklusif bagi siapa pun.
Di
dunia nyata dimana orang sering kali dengan gampangnya mengumpat, menggunakan
kata-kata kasar, membicarakan kejelekan orang lain, menabur pertentangan dan
meracuni pergaulan sosial dengan gosip, maka keluarga menjadi acuan tentang
bagaimana seharusnya memahami komunikasi sebagai rahmat. Dalam banyak situasi
yang secara nyata dikekang oleh nafas kebencian dan aroma kekerasan, dimana
banyak keluarga terpisah satu sama lain oleh kokohnya tembok batu atau jurang
pemisah lantaran prasangka buruk dan rasa tidak suka, dimana terjadi situasi
yang memungkinkan mengatakan ‘cukuplah sudah sekarang ini!’, rasanya hanya
dengan berkah daripada kutukan, dengan jalan berkunjung daripada mengusir,
dengan menerima daripada mengajak ribut, maka kita akan mampu mematahkan rantai
spiral kejahatan; juga mampu memperlihatkan bahwa kebaikan itu selalu saja
mungkin dan mendidik anak-anak kita untuk menghargai pertemanan.
Dewasa
ini media modern, yang merupakan bagian hakiki dari kehidupan kaum
muda khususnya, dapat menjadi bantuan namun juga halangan bagi
komunikasi di dalam dan di antara keluarga. Media bisa merupakan halangan jika
dijadikan cara untuk mencegah kita mendengarkan orang lain, untuk mengelakkan
kontak fisik, untuk mengisi setiap saat hening dan istirahat, sehingga kita
lupa bahwa “keheningan adalah bagian terpadu dari komunikasi; tanpa
keheningan, kata-kata yang kaya pesan tak akan ada”, (BENEDIKTUS XVI, Pesan Untuk Hari
Komunikasi Sedunia Tahun 2012 ). Media dapat menjadi bantuanbagi
komunikasi ketika media memungkinkan orang untuk berbagi kisah, untuk tetap
menjalin kontak dengan teman-teman yang jauh, untuk mengucapkan terima kasih
kepada orang lain atau meminta pengampunan mereka, dan untuk membuka pintu bagi
perjumpaan-perjumpaan baru. Dengan berkembang setiap hari dalam kesadaran
kita akan betapa pentingnya berjumpa dengan orang-orang lain, “peluang-peluang
baru” ini, maka kita akan memakai teknologi secara bijaksana, alih-alih
membiarkan diri kita dikuasai media. Di sini juga, para orangtua adalah
pendidik utama, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan sendirian. Komunitas
Kristen dipanggil untuk membantu mereka mengajarkan anak-anak bagaimana hidup
dalam sebuah lingkungan media secara sepadan dengan martabat mereka sebagai
pribadi manusia dan demi melayani kesejahteraan umum.
Tantangan
besar yang kita hadapi saat ini ialah untuk mempelajari kembali
bagaimana berbicara satu sama lain, tidak sekadar bagaimana untuk
menghasilkan dan memakai informasi. Yang terakhir tadi adalah
kecenderungan yang dapat didorong oleh media komunikasi modern kita yang
terbilang penting dan berpengaruh. Informasi memang penting, tetapi tidak
cukup. Sekian sering hal-hal disederhanakan, aneka posisi dan sudut
pandang berbeda diadu satu sama lain, dan orang-orang diajak memihak, alih-alih
melihat hal-hal itu secara utuh.
Kesimpulannya,
keluarga bukanlah pokok bahasan atau sumber darimana pertentangan ideologis
muncul. Melainkan, keluarga harus dipandang sebagai ruang sosial dimana kita
semua belajar berkomunikasi yang ditandai oleh pengalaman akan keakraban satu
sama lain. Keluarga adalah ruang sosial dimana komunikasi itu terjadi, sebuah
komunitas manusia yang saling berkomunikasi. Keluarga adalah suatu komunitas yang
senantiasa menyediakan pertolongan, yang menyegarkan kehidupan dan membuahkan
hasil. Begitu kita menyadari hal ini, maka kita sekali lagi akan
dimampukan melihat bahwa keluarga senantiasa menjadi sumber daya manusia yang
begitu kaya manakala bila bertabrakan dengan masalah. Banyak kali, media suka
menampilkan keluarga lazimnya sebuah model abstrak yang bisa ditolak, dibela
atau diserang dan bukannya pertama-tama melihatnya sebagai realitas sosial yang
hidup. Sering juga keluarga diperlakukan sebagai sumber darimana pertentangan
ideologis itu muncul daripada melihatnya sebagai ruang sosial dimana kita semua
ini belajar apa artinya berkomunikasi dalam bingkai kasih yang diwarnai
semangat saling memberi-menerima. Berpijak pada pengalaman nyata inilah kita menjadi
sadar bahwa ternyata hidup kita ini terjalin bersama sebagai suatu realitas
tunggal, bahwa kita masing-masing itu banyak perbedaannya namun sekali lagi
setiap orang pada dasarnya tetaplah pribadi yang unik.
Keluarga-keluarga
harus dilihat sebagai sumber daya alih-alih sebagai masalah bagi masyarakat.
Keluarga-keluargaberkomunikasi secara aktif melalui kesaksian mereka
tentang keindahan dan kekayaan relasi antara lelaki dan perempuan, dan antara
para orangtua dan anak-anak. Kita tidak sedang berjuang untuk membela masa
lalu. Sebaliknya, dengan kesabaran dan kepercayaan, kita bekerja untuk
membangun masa depan yang lebih baik bagi dunia di mana kita hidup.
Diberikan di Vatikan, 23 Januari 2015, Vigilii Pesta Santo
Fransiskus dari Sales
PAUS FRANSISKUS